Cerpen: London at The Lonely Night

jack-the-ripper
(dok. Assasin's Creed Wiki)

Cerpen ini dimuat di tabloid STORY edisi Oktober 2012.

***

Berkali-kali matanya berkedip, seakan tak percaya. O, benarkah ini adalah tempat dimana Whitechapel berdarah yang terjadi pada 30 September 1888 itu diabadikan?

“Kamu tidak salah tempat kan Son?” Tanya Hakim seraya menoleh.

Gibson menggangguk, pertanda benar.

“Serius?” Tanya Hakim. Kali ini nada suaranya menaik. Raut wajahnya pun terlihat ketakutan.

“Ya, serius.”

Hakim mengalihkan pandangan pada bangunan bersejarah yang ada di hadapannya. Lalu diperhatikannya dengan saksama. Baik itu dari rupanya maupun detilnya. Bangunan itu cukup besar.

Di dinding bagian atas terdapat papan bertuliskan, “The London Dungeon” berwarna merah dengan  gambar berupa beberapa orang yang sedang ketakutan. Sementara di bagian bawahnya terdapat tulisan, “90 minutes of London's scariest history – LIVE” berwarna putih. Memang, Gibson belum pernah ke tempat seperti ini sebelumnya. Namun entah mengapa hawa mistis sudah terasa di sekeliling jalan yang bernama Tooley Street itu. Seakan-akan meneror dan terasa begitu menakutkan. 

“The London Dungeon.” Ujar Hakim.

the-london-dungeon

“Ya, tempat ini bernama The London Dungeon, sebuah museum yang menyajikan atraksi kisah-kisah berdarah di London dari masa lampau dengan efek khusus. Sudah lah, tak usah banyak berbicara. Lebih baik kita antre saja sebelum barisan kita diserobot orang.” Ajak Gibson, lelaki tinggi semampai berkulit sawo matang itu lalu mengambil barisan. Sementara Hakim, yang sama sekali belum pernah ke tempat ini bingung setengah mati. Ia lantas bertanya-tanya.

“Gibson! Sebenarnya ini tempat apa? Mengapa aromanya menyeramkan seperti ini?” Tanya Hakim lalu berbaris di belakang Gibson.

“Kan tadi sudah kubilang, ini adalah museum. Dimana atraksi-atraksi kisah berdarah di London dari masa lampau ditampilkan di tempat ini. Sudah, kamu tenang saja, nanti juga kamu tahu seperti apa tempat ini.” Jelas Gibson.

Mereka berbaris di antrean. Mungkin ini adalah kali pertama Hakim mengunjungi tempat itu. Namun tidak bagi Gibson, sahabat masa kecilnya. Betapa tidak, Gibson yang terlahir sebagai keluarga kaya sudah terbiasa tinggal di London selama 6 tahun. Sedangkan Hakim yang mendapatkan beasiswa S2 dari pemerintah Inggris baru beberapa bulan saja. 

Maka begitu waktu mempertemukan dua sekawan itu kembali, Gibson pun menyambut Hakim dengan antusias. Hingga pada akhirnya ia mengajak Hakim untuk berwisata pada malam ini dan hendak menunjukkan kepadanya bahwa betapa 'angker'nya The London Dungeon.

Setelah proses pembelian tiket selesai, mereka masuk ke dalam ruangan. Seketika aroma mistis nan mendebarkan terasa di bangunan yang dibuka sejak 1976 itu. Baunya seakan merasuki hidung, menjalar ke peredaran darah lalu membuat bulu roma merinding. Sungguh menyeramkan!

***

Dengan langkah gontai dan mata yang sudah mengantuk, Hakim berjalan di trotoar. Sendirian. Diselubungi kegelapan. Gibson sudah pulang sejam yang lalu tepat ketika mereka sedang asyik-asyiknya menyelami kehidupan masa lampau saat London berwarna 'hitam'. Ibunya menelepon dan ia mengatakan ada urusan penting. Maka dengan terpaksa Gibson pulang dan meninggalkan Hakim begitu saja, kendati acara belum mencapai klimaksnya.

Pukul 01.30 Whitechapel berselubung gelap. Di sudut jalan yang remang, seorang perempuan bercumbu dengan pria bersetelan gelap. Namun naas, 20 menit kemudian ia malah tergeletak tak berdaya lantaran menjadi mayat.

Narasi yang dijelaskan di The London Dungeon beberapa saat lalu terngiang-ngiang di kedua telinganya. Begitu pula dengan foto-foto dan tayangan yang mengerikan. Seakan-akan sudah menyatu dengan ingatan. 

Bayang-bayang itu tak ubahnya darah dan nanah yang selalu menyatu dalam raga yang sudah menjadi tengkorak dan tulang-belulang serta laksana arwah-arwah penasaran yang senang menempel pada mayat busuk di persimpangan jalan.

Hakim memperhatikan keadaan sekelilingnya. Semula ia merasa biasa-biasa saja. Namun setelah ia mengamati dengan saksama, barulah ia terperangah. Loh, bukankah ini adalah kawasan Withechapel, daerah dimana masa kelam London bermula? Lantas bagaimana bisa ia berada di tempat itu? Bukankah sebelumnya ia hendak pulang?

“Astaga! Loh, ini kan... Whitechapel, kawasan yang dijelaskan di dalam museum tadi! Tapi mengapa aku bisa berada di tempat semacam ini? Bukankah aku tadi pergi ke arah sana?” Ujar Hakim sembari menunjuk ke sebuah jalan. Ia bingung setengah mati. 

whitechapel
Pukul 23.00 waktu London. Malam kian larut. Whitechapel diselubungi kesunyian. Dari arah barat semilir angin berbisik dengan aura 'mistisnya'. Sekali dua kali menerbangkan kertas sampah ke arah Hakim, kian menambah ketegangan.

Ia memutar badan. Lalu dialihkan pandangannya pada sebuah bangunan tua. Bangunan itu cukup besar dengan warna cat cokelat dan putih sebagai penghiasnya. Seketika itu ia terperangah.

“The Ten Bells?” Gumam Hakim. Ia seolah tak percaya.

The Ten Bells bukanlah sembarang bangunan. Sebab konon kabarnya, bar yang didirikan pada 1753 itu kerap disambangi oleh Jack The Ripper, dimana pada masa lampau ia pernah membunuh dua pekerja di tempat itu selain bar Still and Star Pub yang berdiri sejak 1880, Hoop and Grapes Pub (tahun 1600) dan The White Heart Pub (1721).

 

Tiba-tiba seorang perempuan menor berparas hispanik berpaspasan dengan Hakim. Wangi parfum semerbak pun tercium dari tubuhnya. Aroma jasmine. Tampaknya ia hendak pergi ke kelab malam. Tak lama setelah itu terdengar jeritan melengking yang memecah kesunyian, “Arggh!”. Sial, ternyata sekelompok laki-laki setengah mabuk menjerit dan iseng menakut-nakutinya. Beruntung ia bisa mengendalikan diri dan tidak terpengaruh dengan keadaan.

“Astaghfirullah al'adzim!”

Hakim kaget bukan main. Ia pun tak menyangka jika seperti inilah kondisi London pada malam hari. Maka di saat bulu kuduknya berdiri, berbaris membentuk formasi seperti pasukan zombie yang sedang upacara pemakaman, ia mengambil ponsel genggamnya lalu buru-buru menelepon Gibson. Namun sayang, ternyata berakhir dengan kata 'mailbox' kendati ia mencobanya berkali-kali. Gibson tak bisa dihubungi.

***

Itulah kali terakhir Catherine Eddowes terlihat di sudut jalan itu, di St James's Passage di kawasan Whitechapel, 30 September 1888. Catherine adalah korban keempat Jack The Ripper, pembunuh berantai yang gemar memutilasi korbannya. Identitasnya tak pernah terungkap hingga kini. Jack The Ripper menjadi legenda sadisme dari London, kota abu-abu yang memancing rasa murung.

***

“Argh! Sial! Mailbox lagi!” Seru Hakim. Ia jadi kesal sendiri.

Ia kembali melakukan panggilan. Dua kali. Namun sayang, hasilnya tetap nihil. Mailbox. Gibson memang tak bisa dihubungi.

Ia berbalik badan, berlawanan dengan kawasan Whitechapel. Lalu dengan langkah yang cepat, ia berjalan menuju kediamannya. Tampaknya lampu jalan yang agak remang-remang dan dedaunan sudah menerornya sedari tadi. Betapa tidak, jantungnya berdegup kencang seiring adrenalinnya yang terpacu drastis. Ia merinding. Hingga pada akhirnya terdengar suara desahan seorang perempuan. Sensual.

***

Para ripperologist meyakini korban The Ripper adalah lima perempuan pekerja seks. Pembunuhan oleh The Ripper itu adalah bagian dari peristiwa Whitechapel Murders, yaitu pembunuhan 11 perempuan yang tak pernah terungkap. Kelima korban The Ripper itu adalah Marry Ann Nichols, Annie Chapman, Elizabeth Stride, Mary Jane Kelly dan Catherine Eddowes. Mereka dibunuh pada Agustus-November 1988.

***

“I love you, baby!”

Hakim menoleh ke belakang. Lalu ia memperhatikan apa yang sebenarnya terjadi. Seketika ia  takjub. Betapa tidak, tampak di sudut The Ten Bells seorang perempuan sedang bercumbu dengan pria bersetelan gelap. Mereka terlihat mesra sekali. Bibir satu sama lain bertemu layaknya drakula bersilaturahmi ke sebuah pemakaman. Sungguh, perbuatan tak beradab!

“Oh, baby!” Ujar si wanita. 

***

Kawasan Whitechapel di Timur London memang merupakan kawasan merah, yang pada tahun 1888 menjadi lahan nafkah bagi sekitar 1200 pekerja seks. Ketika itu, kemiskinan yang parah di London menjadikan wajah Whitechapel begitu muram. Pelacuran dan kriminalitas amat marak di sana. Bahkan tak hanya itu saja, Whitechapel juga melatari beberapa cerita besutan pengarang asal Inggris Charles Dickens, misalnya dalam karyanya yang muram, “OLIVER TWIST” (1838).

***

Tiba-tiba saja si wanita berubah wujud. Bibirnya yang seksi dengan gincu merah merona mendadak pudar, berubah menjadi warna hitam. Tubuhnya yang langsing dan tinggi semampai juga berubah menjadi besar seperti raksasa. Giginya pun bertaring. Sementara sorot matanya yang mulai tajam, perlahan-lahan memerah dan seakan-akan memancarkan aura mistis.

Tak lama setelah itu ia melepaskan pelukannya dari si pria lalu berjalan perlahan-lahan menghampiri Hakim. Langkahnya sempoyongan seperti orang mabuk. Dan di saat itulah kulitnya yang putih menjadi keropos. Begitu pula dengan daging dan tulangnya, lambat laun hancur berkeping-keping, memuncratkan percikan-percikan darah hingga pada akhirnya ia berubah menjadi tengkorak hidup.

“I will kill you! I will kill you!” Kata wanita misterius itu berkali-kali sembari mengulurkan tangan ke depan. Dengan suara yang terdengar agak serak, ia pun hendak menakut-nakuti Hakim.

***

Tentang siapa sebenarnya Jack The Ripper, banyak teori yang beredar. Ada yang meyakini The Ripper adalah seorang dokter bedah karena kepiawaiannya memutilasi korban, ada pula yang meyakini The Ripper adalah seorang tukang daging.

***

Hakim kontan kaget. Seketika wajahnya pucat pasi. Ia pun takut bukan main. Napasnya jadi  terengah-engah seiring denyut jantungnya yang berdetak kencang. Adrenalinnya juga turut terpacu di samping perubahan suhu tubuhnya yang amat drastis. Lebih-lebih setelah si pria menghilang secara mendadak seperti ditelan bumi, tak berbekas. Sontak ia mundur beberapa langkah, takut kalau-kalau si wanita akan membunuhnya dan menjadikannya sebagai korban “Jack The Ripper” versi wanita.

“I will kill you! Hahaha...”  Tukas setan betina itu berkali-kali. Namun kali ini ia memamerkan kuku-kukunya yang panjang dan darah merah yang segar yang mengucur dari mulutnya.

Secepat kilat ia berlari ke tengah-tengah jalan, berusaha menjauhi kedua tengkorak hidup itu. Tetapi sial, tiba-tiba 10 setan wanita lainnya muncul dan dalam hitungan detik mereka sudah mengepungnya. Begitu pula dengan dua setan sebelumnya, juga turut berpartisipasi.

“Come on!”

“I will kill you!”

“I need the blood!”

“I'm hungry!”

Beragam suara yang terucap dari 11 setan yang mengepungnya seakan menguatkan bahwa betapa angkernya Whitechapel sejak masa lampau. Sungguh, malam yang menyeramkan!

Hakim berputar-putar, memperhatikan satu per satu mayat hidup yang mengepungnya dengan membentuk lingkaran. Ada mayat yang hanya memiliki satu mata, ada mayat yang berlumuran darah dan bahkan ada pula mayat yang kondisinya paling memprihatinkan ; tidak punya kepala sama sekali. Rupa mereka tampak berantakan dan seram bukan main. Ingin rasanya ia meloloskan diri. Namun ironis, ia tidak bisa melakukannya lantaran mereka kian mendekat. Merasa mati kutu dan sudah tak berdaya, ia pun berjongkok sembari menutup kedua mata dan memegang kepala, lalu berteriak dengan sekencang-kencangnya, “Aaaaaaa.....!”. Dalam hati ia berharap suatu keajaiban datang menghampirinya.

Dan...

“...”

Sunyi.

“...”

Hening.

“Hey! What happen?”” Tiba-tiba seorang laki-laki menggerak-gerakkan badannya. Ia berseragam rapi dengan topi bertuliskan “police” di atas kepalanya.

Hakim celingak-celinguk. Ia bingung. Loh, bagaimana bisa ini terjadi, bukankah barusan ia dikepung oleh sebelas mayat hidup dengan ragam rupa yang terlihat seram? Lantas dimanakah mereka sekarang? Mengapa mereka hilang dari pandangannya? Atau...

Ia mengucek-ngucek kedua matanya, berharap kejadian hari ini bukanlah khayalan semata melainkan sebuah realita dimana tidak ada satu mayat hidup pun yang mengepungnya. Dan ternyata memang benar, ia tidak melihatnya sama sekali kecuali lampu yang agak remang-remang di pinggir jalan serta polisi London yang ada di hadapannya.

“What happened? Are you ok?” Tanya polisi itu sekali lagi.

“Ough!” Hakim berdiri lalu melihat keadaan sekitar, termasuk The Ten Bells yang tampak murung di pandangannya. “Nothing. I'm fine.”

Suasana hening sejenak.

“Goodbye!” Seru Hakim lalu meninggalkan polisi begitu saja. Setelah itu ia menuju Durward Street, sebuah jalan di kawasan Whitechapel yang pernah menjadi lokasi pembunuhan Mary Ann Nichols, salah satu korban Jack The Ripper pada 31 Agustus 1888.

Setibanya di sana ia memberhentikan sebuah taksi yang kebetulan melintas di hadapannya. Ia hendak pulang.

“Dasar! Gibson benar-benar menyebalkan! Seenaknya saja ia meninggalkanku! Aku kan belum begitu hapal tentang Inggris! Apalagi seputar kawasan Whitechapel yang menyimpan aura mistis itu! Tapi aneh,  mengapa mayat-mayat itu mengepungku dan seakan ingin membunuhku? … Ah! Sudah lah! Tak usah dipikirkan! Kurasa itu hanyalah ilusi semata lantaran aku terlalu terbawa dengan atraksi-atraksi mengerikan di The London Dungeon beberapa saat lalu. Toh, buktinya saja si polisi tidak kenapa-kenapa dan selepas itu aku tidak melihat mayat sama sekali. Ya, ini pasti karena aku terlalu terbawa emosi atas tayangan di museum menyeramkan itu!” Ujar Hakim dalam hati. Memang, sekumpulan mayat hidup yang sempat mengerubunginya sudah lenyap dari pandangannya. Namun entah mengapa ia masih merasa takut. Tubuhnya masih bergemetar.

Selagi taksi melaju kencang, Hakim meluruskan pandangannya ke belakang, melihat segala pemandangan Whitechapel yang lambat laun tampak mengecil di bola matanya. Jujur ini adalah pengalaman langka baginya. Namun sayang, ada satu pengalaman yang terlupakan. Ia tidak melihat ke spion sebab di situlah tampak pria bersetelan gelap sedang berdiri di persimpangan jalan Durward Street sembari menjilati sebilah pisau yang dilumuri darah. Dan dialah Jack The Ripper, sang pembunuh berantai.*

Comments