Mengulas Makna Puisi "Efata" dalam Film "Sebelum Berangkat"

Efata,

Bila aku buta, usaplah matamu.

Bila aku lumpuh, basuhlah kakimu.

Bila aku tuli, sentuhlah telingamu

Sebab, kita tiada beda.

Sebab, kita setara semartabat

Sebab, kita serancangan

Itulah cuplikan puisi yang dilafalkan oleh Erlis dalam film "Sebelum Berangkat" (2018) karya Dirmawan Hatta produksi Tumbuh Sinema Rakyat dan The Asia Foundation. Film yang sempat tayang di Festival Scope via Festival 100% Manusia tersebut berkisah tentang kehidupan sebuah komunitas disabilitas di sebuah desa di Sumba, Nusa Tenggara Timur.

film-sebelum-berangkat
Salah satu cuplikan film "Sebelum Berangkat" (tangkapan layar trailer film/dok. Tumbuh Sinema Rakyat)

Suatu hari komunitas disabilitas tersebut berkesempatan untuk mewakili NTT dalam peringatan Hari Difabel Internasional (HDI) di Surabaya. Rencananya, mereka akan berdeklamasi (KBBI: menyajikan sajak yang disertai lagu dan gaya) di sana. Nah, bagaimana persiapan mereka 'sebelum berangkat' ke acara HDI menjadi fokus utamanya.

Dalam hal ini, sebuah puisi berawalan 'Efata' dipilih untuk dideklamasikan. Erlis, seorang gadis SD pun dipercaya untuk membawakan puisi tersebut. Meski sempat dilarang oleh ibunya untuk ikut dengan alasan sakit telinga, Erlis tak peduli. Ia tetap berlatih dalam mengekspresikan puisi karena ingin berpartisipasi di HDI.

film-sebelum-berangkat
Erlis, salah satu tokoh dalam film "Sebelum Berangkat" (tangkapan layar trailer film/dok. Tumbuh Sinema Rakyat)

Sekilas puisi 'Efata' seperti tempelan dalam film semata. Namun jika kita mendengarkannya dengan saksama kata demi kata yang diucapkan dalam puisi tersebut di dalam film, puisi 'efata' sebenarnya adalah benang merah yang terkait dengan alur cerita. Puisi ini menggambarkan bagaimana isu disabilitas dan keadaan sosial budaya yang ada di Nusa Tenggara Timur khususnya Sumba.

Untuk lebih jelasnya, mari kita perhatikan satu demi satu baris yang terdapat dalam puisi. Pada baris pertama, kita akan mendengar kata efata! diucapkan dengan lancang dan keras oleh Erlis. 
 
Efata bukan berasal dari bahasa Sumba, melainkan kata dalam bahasa Aram yang berarti "Terbukalah!". Kata ini diucapkan oleh Yesus dan tercantum dalam alkitab. Dikisahkan Yesus bertemu dengan seorang yang tuli. Untuk menyembuhkannya, Yesus kemudian berkata "Efata!".
 
Kata efata digunakan karena berkaitan erat dengan latar belakang kehidupan masyarakat Sumba yang mayoritasnya penduduknya adalah umat Nasrani. Dalam film, hal itu tergambar lewat adegan saat Maya dan Mardi pulang ibadah dari gereja. 
masyarakat-sumba
Masyarakat Sumba (dok. CNN)

Selain itu, penggunaan efata juga menyiratkan secercah harapan terhadap seorang penyandang disabilitas. Di balik terpilihnya Erlis sebagai pembaca puisi, ia merupakan seorang disabilitas. 
 
Erlis memiliki gangguan pendengaran. Ia tidak bisa mendengar dengan baik, sampai-sampai ia harus membaca gerak bibir ibunya untuk memahami apa yang diucapkan kepadanya. Itulah kenapa dalam salah satu adegan, kamera melakukan zum pada mulut ibu Erlis ketika berbicara. Atas keterbatasannya, Erlis tak berlatih sendiri dalam mendeklamasikan puisi. Seorang anak albino bernama Paul turut membantunya. 
 
Melalui efata, film ini seolah ingin memberi pesan kepada setiap penyandang disabilitas bahwa harapan itu selalu ada sebagaimana kisah yang terdapat dalam kitab suci. Harapan di sini tidak serta merta dimaknai seorang penyandang disabilitas keluar dari status disabilitasnya. Namun harapan bahwa kebesaran Tuhan itu selalu ada sehingga tidak perlu khawatir dalam menjalani hidup.

Setelah efata, berikutnya kita akan menemukan tiga baris puisi sebagai berikut:

Bila aku buta, usaplah matamu. 
Bila aku lumpuh, basuhlah kakimu. 
Bila aku tuli, sentuhlah telingamu.
 
Dalam hal ini, terdapat tiga kata kunci yang berkaitan dengan disabilitas yakni 'buta', 'lumpuh' dan 'tuli'. Pemilihan kata tersebut bukan tanpa alasan. Tiga kata kunci tersebut digunakan untuk menggambarkan tentang keberagaman disabilitas seperti yang ditampilkan di film. 
 
Faktanya, Erlis bukan satu-satunya tokoh disabilitas yang ada. Ada kakak beradik Maya dan Paul yang terlahir sebagai orang albino. Di sela-sela persiapannya 'sebelum berangkat', Maya harus mengalami kenyataan bahwa keluarga kekasihnya, Oscar menolaknya karena penampilan fisiknya berbeda dengan orang Sumba pada umumnya. 
 
film-sebelum-berangkat
Maya, seorang perempuan Albino asal Sumba (tangkapan layar trailer/dok. Tumbuh Sinema Rakyat)

Sementara Paul adalah adik Maya yang protektif jika kakaknya berhubungan dengan Oscar. Ia juga adalah seorang teman yang membantu Erlis dalam mengekspresikan puisi dengan baik.
 
"Sebelum Berangkat" juga mengisahkan kehidupan Mardi. Ia adalah seorang wanita tuna daksa yang memiliki tubuh kerdil. Meski memiliki kekurangan, ia tahu bagaimana caranya tampak cantik dengan caranya sendiri. 

film-sebelum-berangkat
Mardi, seorang tuna daksa yang ingin tampil cantik di acara HDI (tangkapan layar trailer film/dok. Tumbuh Sinema Rakyat)
Terakhir ada pula ayahnya Flo yang mengalami rabun sehingga tidak dapat melihat sesuatu dengan jelas. Tokoh ini merupakan tokoh minor. Kendati demikian, keberadaannya cukup menggambarkan tentang keberagaman disabilitas dalam film.
 
Kemudian melalui frase perintah seperti pada frase "usaplah matamu", "basuhlah kakimu" dan "sentuhlah telingamu", film ini mengingatkan kita untuk senantiasa bersyukur atas hal-hal yang mungkin tampak sepele namun sebenarnya amat berarti. 
 
Melihat, berjalan dan mendengar adalah hal-hal yang biasa. Namun ketika kita dihadapkan dengan orang-orang yang mengalami keterbatasan pada aktivitas tertentu, maka sudah sepatutnya kita bersyukur karena tidak semua orang bisa melakukannya. Erlis dengan keterbatasan pendengarannya dan Ayah Flo dengan keterbatasan penglihatannya adalah contoh nyata di film yang amat berhubungan dengan realita di dunia nyata.   

Sebab, kita tiada beda. Sebab, kita setara semartabat. Sebab, kita serancangan.

Pada bagian terakhir puisi, film ini menyiratkan bahwa setiap manusia, baik disabilitas ataupun nondisabilitas, pada dasarnya sama. Tidak ada yang berbeda satu sama lain. Semuanya setara di mata Tuhan karena sama-sama 'rancangan tuhan'. 

film-sebelum-berangkat
Mobil dengan stiker "Rancangan Tuhan" (tangkapan layar trailer film/dok. Tumbuh Sinema Rakyat)
Itulah kenapa pada mobil yang akan mengantarkan komunitas disabilitas ke bandara, tertempel stiker bertuliskan "Rancangan Tuhan". Dalam judul versi internasional, film ini pun diberi judul "In God's Design" yang artinya  "Rancangan Tuhan". 
 
Stiker tersebut bukan sebatas tempelan, namun pesan yang terkandung di dalam puisi bahwa pada dasarnya tidak ada orang yang dirancang dengan salah. Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan, Tuhan adalah sebaik-baiknya perancang yang ada.

Bicara soal latar, memang, "Sebelum Berangkat" bukan satu-satunya film Indonesia yang berlatarkan di Sumba. Sebelumnya ada "Marlina: Pembunuh dalam 4 Babak", "Pendekar Tongkat Emas", "Susah Sinyal" dan bahkan yang terbaru "Humba Dreams". 

poster-film-humba-dreams
Poster film "Humba Dreams", salah satu film selain "Sebelum Berangkat" yang berlatarkan Sumba (dok. Miles Film)
Namun dibandingkan film-film tersebut, "Sebelum Berangkat" berbeda karena mengangkat isu yang belakangan sedang gencar diperjuangkan: disabilitas. Isu disabilitas di kota-kota besar sudah banyak yang bahas. Tapi bagaimana dengan isu disabilitas di daerah Indonesia Tengah seperti yang terjadi di sebuah desa di Sumba?

Kepala Tim Riset LPEM FEB Universitas Indonesia, Alin Halimatussadiah pada 2016 menyampaikan bahwa prevalensi disabilitas provinsi di Indonesia ada di angka 6,41 sampai 18,75 persen. Dari data tersebut, Nusa Tenggara Timur, tempat Sumba berada tercatat sebagai salah 1 dari 3 provinsi dengan tingkat prevalensi disabilitas tertinggi di Indonesia pada 2016.

Data ini kian diperkuat oleh Riskesdas 2018. Berdasarkan riset tersebut, Nusa Tenggara Timur masuk sebagai salah satu dari sepuluh provinsi dengan proporsi penyandang disabilitas dewasa tertinggi (rentang usia 18-59 tahun) di Indonesia. Setidaknya 27,3% penduduk dewasa di Nusa Tenggara Timur adalah penyandang disabilitas.

Film ini makin menarik untuk ditonton karena menggunakan bahasa Sumba 100% (kecuali pada isi puisi dan tulisan) dengan seluruh pemain adalah orang lokal. Alhasil, mau tak mau penonton harus membaca takarir (subtitle) dari awal hingga akhir untuk memahami apa yang disampaikan di film. Pengecualian bagi penutur asli bahasa Sumba. 

"Sebelum Berangkat" memang bukan film yang sempurna. Namun hadirnya puisi efata yang sarat makna menjadi poin plus yang membuat film ini memiliki kelebihannya sendiri.

Comments

  1. ternyata artinya efata itu terbukalah ya. Dengan menonton film ini aku jadi sadar bahwa kesetaraan itu penting, teman-teman disabilitas juga sama seperti kita, mereka memiliki talentanya masing-masing dan indahnya apabila bisa saling melengkapi ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya ka, Efata artinya terbuka. Ada di dalam alkitab. Awalnya kukira Bahasa Sumba gitu eh ternyata bukan. :D

      Setuju ka, disabilitas pada dasarnya sama kayak kita. Maka sudah seharusnya kita tidak membeda-bedakan karena kita dan mereka saling melengkapi.

      Delete
  2. Bagus ya maknanya Efata. Film yang menggambarkan dekat sekali dengan kehidupan kita juga. Masih ada kesenjangan antara penyintas disabilitas dan non-disabilitas.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bagus banget mbak. Makanya aku suka sama film ini. Sayangnya, penayangannya terbatas di festival-festival film aja.

      Delete

Post a Comment