In This Corner of The World; Tentang Keluguan, Masa Perang dan Hiroshima

Seperti apa kehidupan pada masa perang di Jepang?

Anime berjudul  "In This Corner of The World" (judul Jepangnya: Kono Sekai no Katasumi ni) yang disutradari oleh Sunao Katabuchi menuturkannya. Diangkat dari manga terkenal karya Fumiyo Kono dengan judul yang sama, film ini bercerita tentang kehidupan Suzu Urano, seorang wanita yang menjalani hari-hari barunya sebagai seorang istri dari Shusaku, seorang tentara Angkatan Darat pada masa perang (1943-1945) di sebuah kota kecil di Hiroshima, Kure. Tinggal seatap dengan keluarga suami, mau tak mau membuat Suzu harus beradaptasi dengan keluarga suaminya, mulai dari ibu mertua yang sangat pintar mengelola bahan makanan dan menghemat uang, ayah mertua yang bertanggung jawab, Keiko sang saudara ipar yang agak cuek dan Harumi, keponakannya (anak Keiko) yang sangat lucu.
Poster film (dok. animatsu.com)
Meski Jepang tengah mengalami masa harap-harap cemas pada 1940-an, Suzu tetap menjalani hidup dengan tekun. Ia rajin memasak (meski terkadang tidak enak), menyediakan masakan, mencuci dan melakukan pekerjaan lainnya. Keadaan negara yang belum stabil membuat Suzu dan keluarganya rajin mendengarkan radio JOFK untuk mengetahui perkembangan keamanan di negaranya. Selain itu, ekonomi yang belum stabil juga membuat mereka harus berhemat dalam membeli bahan-bahan makanan.

Suzu boleh saja berstatus "taken" alias istri orang. Namun hal itu tidak membuat Suzu bertindak sebagai wanita dewasa. Kecerobohan dan kepolosannya justru membuatnya tampak seperti kekanak-kanakan bahkan membuat saya meragukan: Suzu sudah nikah belum sih? Ia pernah tak sengaja membiarkan gula dimakan semut, hampir menjatuhkan tahu saat berjalan bahkan memakai bedak yang terlalu tebal. Walau begitu, di situlah keunikannya. Film ini seakan menceritakan suatu kontras kepada pemirsa: keluguan dalam suatu kekerasan (baca: perang).

Di balik kepolosannya, Suzu punya kemampuan yang luar biasa. Ia bisa menggambar. Maka di sela-sela rutinitasnya, ia menyempatkan diri untuk melakukan hobi favoritnya itu. Ia mengajarkan Harumi menggambar dan juga memberikan Lin, temannya sebuah gambar semangka. Namun sayang, bakat menggambarnya sempat membawanya pada petaka. Ia sempat ditangkap dan diinterograsi oleh polisi militer setempat di rumahnya saat menggambar kapal perang karena dianggap sebagai mata-mata. Inilah adegan favorit yang saya suka karena bagi saya amat menghibur.

Meski awalnya keluarga dari suaminya sempat shock dan gemetar karena Suzu diinterogasi, akhirnya semua anggota keluarga justru menganggap apa yang dialami Suzu adalah lelucon. Mereka tak henti-hentinya menertawakan Suzu pada berbagai kegiatan sementara Suzu  hanya diam dan pasrah saja. Bahkan pada saat makan bersama mereka tetap menertawakan Suzu. Mereka berpikir betapa bodohnya polisi militer yang menanggap bahwa Suzu yang tampak polos seperti itu adalah seorang mata-mata yang punya niat jahat pada Jepang. Saya makin tertawa "ngakak" pada adegan ini saat Harumi si bocah kecil berkata kemudian tertawa kegirangan, "Aku tidak tahu apa yang kalian tertawakan. Namun aku tertawa saja. Hahaha."

Sebagai pengantin baru, Suzu begitu beruntung. Ia memiliki suami yang perhatian dan menyayanginya dengan tulus. Di balik kesibukan Shusaku sebagai tentara, ia tetap menjaga keharmonisan dengan Suzu sebagai pasangan suami istri.  Shusaku rela pulang dari tugas militernya semata demi ingin tahu bagaimana keadaan istrinya. Bahkan Shusaku juga melakukan hal romantis lainnya, yakni berciuman dengan Suzu saat berduaan dengannya, namun akhirnya kepergok oleh kedua orang tua Shusaku.  Seketika wajah mereka pun memerah.

Nobar "In This Corner of The World" bersama Kalinda. (dok. pribadi)
Selain hubungan antara Suzu dan keluarga suami, konflik utama film ini terletak pada hubungan antara Suzu dengan dirinya sendiri, terutama tentang bagaimana Suzu mengelola perasaannya kepada suaminya sendiri. Walau keluarga suami telah menerima Suzu apa adanya, nyatanya Suzu menikah bukan karena sukarela, melainkan karena keterpaksaan. Oleh karena itu Suzu sempat dilema dengan perasaan yang ia rasakan, terlebih setelah teman lamanya baru hadir lagi saat ia telah berkeluarga. Apakah ia benar-benar mencintai Shusaku? Apakah ia benar-benar layak untuk Shusaku? Berbagai tanya bermukim di benaknya.

Walau sempat rendah diri dan tak yakin dengan perasaannya, ia tetap berusaha setia dan mencintai suaminya.  Terbukti Suzu menyempatkan diri untuk berdandan (meski ketebalan dan dianggap pucat) demi bertemu dengan Shusaku yang sedang bertugas dan sangat bersedih saat tahu bahwa Shusaku akan mengikuti pelatihan militer dan baru akan kembali tiga bulan kemudian. Lalu agar tak lupa dengan wajah Shusaku, Suzu bahkan sempat menggambar suaminya dan menyimpannya untuk dilihat suatu waktu.

Puncak cerita terjadi saat Jepang memasuki 1945, tahun dimana Hiroshima menjadi sasaran empuk bagi musuh.  Segala kemungkinan buruk bisa terjadi. Di titik ini Suzu dan keluarganya tak tinggal diam. Oleh karenanya, mereka pun berjuang untuk bertahan hidup. Selain rajin mendengarkan radio JOFK, mereka juga harus bersembunyi di tempat persembunyian yang aman jika suatu waktu kondisi kembali memanas.

Ada pesan yang disampaikan dalam film ini bahwa perang selalu menimbulkan kerugian. Selain menyebabkan banyak rumah hancur, krisis makanan dan korban tewas, perang juga menyisakan luka psikologis. Tak ada yang diuntungkan dari suatu perang. Suzu adalah salah satunya. Ia harus rela menerima kehilangan salah satu tangannya akibat serangan musuh. Sejak itu hubungannya dengan Keiko sempat memburuk. Suzu pun harus berhadapan dengan kenyataan pahit yang tidak dikehendakinya. Haruskah ia pulang ke daerah asalnya, Eba, kota di tepi pantai Hiroshima setidaknya untuk menenangkan diri? Pikiran Suzu berkecamuk.

Menonton film ini mengingatkan saya pada anime Jepang yang lain. Tapi apa ya? Oh ya,  Hotaru No Naka alias Grave of The Fireflies! Ada beberapa kesamaan antara Grave of The Fireflies dan In This Corner of The World. Selain karena sama-sama anime, kedua film tersebut juga berlatar pada masa perang dunia kedua di era 1940-an dan menceritakan betapa tidak ada untungnya sama sekali dari sebuah peperangan. Pasti akan selalu ada korban yang berjatuhan.

Poster film "Grave of The Fireflies" (dok. Ghibli)
Bedanya, jika Hotaru No Naka berfokus pada hubungan antara kakak-adik dan berakhir sangat tragis, In This Corner of The World justru lebih berfokus pada hubungan antara seorang wanita dengan keluarga suaminya dan dengan ending yang lebih manis. Jika pada Hotaru no Naka bisa membuat penontonnya nangis bombay dan murni drama, pada In This Corner of The World ada unsur komedi di dalamnya. Beberapa adegan dalam In This Corner of The World bahkan mengundang gelak tawa terutama saat Suzu melakukan kegiatan cerobohnya. Alhasil, penonton bisa tertawa, tapi juga bisa "baper" dengan nuansa drama di dalamnya.

Dengan alur cerita, gambar animasi dan penataan musik yang ciamik, kualitas film ini tak perlu diragukan lagi. Berbagai prestasi telah diraihnya, mulai dari juara dari Animation of the Year the 40th Japan Academy Film Prize, Peace Film Award Hiroshima International Film Festival hingga Japanese Film Best 10 Osaka Cinema Festival. Bulan Ramadan tinggal beberapa hari. So, tak ada salahnya kita menjadikan film yang sudah tayang di CGV terdekat sejak 14 Juni 2017 sebagai teman ngabuburit atau bahkan teman untuk libur lebaran nanti. Kelak ada berbagai inspirasi yang akan kita temukan di dalamnya.

Akhirnya, kiranya kita adalah Suzu yang harus berhadapan dengan hari-hari penuh perang, mungkin kita akan melakukan hal yang sama seperti apa yang ia lakukan. Kita akan berandai bahwa jika kita bisa menggunakan kemampuan menggambar yang kita miliki untuk membuat perubahan, niscaya kita akan mengganti serangan-serangan musuh dengan goresan cat warna-warni yang indah.

Dipublikasikan juga di: v20106.kompasiana.com/nkurniadi

Comments