Persahabatan Segelas Air

Ada dua orang laki-laki. Mereka ini sudah bersahabat sejak lama.
Ada yang unik dari mereka. Mereka ini punya kebiasaan untuk memberikan segelas air putih tiap kali bertemu. Lalu air minum yang diberikan harus mereka minum tenggak hingga habis. Mereka percaya bahwa ini mampu merekatkan persahabatan mereka sebagaimana air putih yang tidak pernah dipisahkan.

Sampai pada akhirnya mereka pun saling sibuk. Hal itu menyebabkan mereka berdua tidak saling berjumpa muka dalam waktu sekian lama. Kontek-kontekkan pun juga tidak seintens dahulu.
Beberapa tahun kemudian, mereka bertemu kembali. Kali ini ada yang berbeda dari mereka. Salah satu dari mereka kini memakai kacamata. Kendati demikian, ini tidak membuat mereka lupa rupa satu sama lain.

Nah, seperti kebiasaan yang mereka lakukan sebelumnya, kali ini mereka saling memberikan segelas air putih. Tidak hanya pada pertemuan kali ini, tapi tiap kali mereka bertemu, tiap kali pula mereka melakukannya. Yang berkacamata memberikan segelas air putih kepada sahabatnya, dan begitu pula sebaliknya. Entah sudah berapa puluh kali mereka melakukan ini, yang jelas mereka rutin melakukannya.

Sampai pada akhirnya tibalah titik yang tidak diharapkan.
Tiba-tiba si kaca mata marah dan menjauhi sahabatnya yang tidak berkacamata. Ia menganggap bahwa sejak perpisahan yang sempat ada di antara mereka berdua, sahabatnya itu telah berbuat sesuatu yang amat buruk kepadanya. Ia juga beranggapan bahwa sahabatnya itu telah melakukan kesalahan fatal yang amat sulit untuk dimaafkan.

Mengetahui reaksi ini, si tanpa kaca mata bingung bukan main. Ia pun bertanya-tanya, "Apa salahnya?". "Memang apa kesalahannya terhadap sahabatnya sehingga sahabatnya marah dan menjauh darinya?" Ia merasa bahwa ia tidak melakukan kesalahan fatal apapun kepada sahabatnya. Kalau pun iya, ia meminta maaf dan bertanya, "Apa harus sahabatnya itu selalu menilainya selalu dalam keadaan buruk?" Ia lantas berusaha untuk bertanya tentang apa kesalahannya. Namun sayang, si kacamata kurang merespon. Ia hanya menilai bahwa sahabatnya ini telah melakukan kesalahan yang amat sulit untuk dimaafkan.

Lantaran penasaran dan belum mendapatkan maaf, akhirnya si tanpa kacamata mencari tahu apa penyebab kemarahan si kacamata namun tanpa sepengetahuan dirinya. Ia bertanya pada orang-orang di sekelilingnya. ingin tahu kira-kira apa kesalahan yang ia lakukan sehingga menyebabkan sahabatnya jadi membenci dirinya. Sampai pada akhirnya diketahuilah penyebabnya. Yakni : Kaca mata sahabatnya itu sudah "burem" sejak pertama kali bertemu.


Inilah fakta di lapangan.
Karena terlalu kenal, kita jadi menilai seseorang dari sisi buruknya saja. Tapi karena terlalu kenal pula, kita jadi menilai orang dari sisi baiknya saja, terlepas sebanyak apa keburukannya. Yang jadi masalah, apa kita hanya menilai seseorang dari keburukan saja sehingga melupakan kebaikannya?

Sama halnya dengan orang yang tidak melepas kacamata "rusak"nya untuk melihat segelas air yang jernih dan dengan orang yang selalu membuka "matanya" untuk melihat segelas air yang jernih. Permasalahan si kacamata menilai sahabatnya selalu buruk adalah karena si kacamata beranggapan bahwa sahabatnya itu senantiasa memberikan segelas air yang keruh untuk diminum. Sedangkan si tanpa kacamata yang tidak melihat sahabatnya dari sisi keburukan adalah karena ia melihat dengan "mata" sesungguhnya bahwa air yang diberikan kepadanya jernih.

Padahal sejatinya, kedua gelas air yang diberikan oleh masing-masing individu sama-sama jernih. Hanya saja kacamata yang "rusak"lah yang mengakibatkan si kacamata melihat air yang keruh. Lantaran merasa tidak enak untuk bilang terus terang akan keruhnya air (padahal sebenarnya jernih) dan tidak mau menambah masalah sama sahabatnya, ia pun selalu meminum segelas air yang diberikan oleh sahabatnya. Air yang dianggapnya keruh yang selalu diminum tiap kali bertemu dengan sahabatnya, membuatnya melihat si tanpa kacamata hanya dari satu sisi : Pemberi air keruh. Di sisi lain, si tanpa kacamata malah selalu menganggap bahwa sahabatnya adalah si pemberi air jernih.

Di sinilah masalah itu terjadi. Kesalahan terbesar kita dalam sebuah hubungan (persahabatan/pertemanan khususnya) adalah saat kita senantiasa memakai kacamata yang burem/rusak untuk melihat sebuah air yang jernih. Jelas itu mustahil karena kita gak akan pernah bisa. Alangkah kejamnya jika kita menghukum seseorang hanya karena "sisi hitam" yang ia miliki. Sedangkan atas "sisi putihnya", apakah kita pernah memberikan apresiasi? Atau hanya kebakaran jenggot saat kita tahu bahwa ia punya banyak keburukan?

Realitanya, sebagian dari kita sudah buru-buru mengambil kesimpulan akan keruhnya air padahal air yang kita lihat belum tentu sekeruh yang kita lihat (karena pengaruh kacamata burem). Sekalipun airnya memang keruh, bukan pemberi airnya yang seharusnya dibenci, tapi airnya. Kalaupun itu memang terjadi, alangkah lebih baik jika kita meminta orang yang kita anggap memberikan air keruh untuk mengganti air keruh yang diberikannya dengan air yang lebih jernih, bukan meminumnya dan menyalahkannya jika suatu hari kita "keracunan" akannya. Lalu jika kita telah keracunan, akankah kita membencinya dengan hasutan dan hujatan-hujatan yang bisa jadi lebih pantas untuk diri kita? 100% menolak untuk melihat air keruh mungkin mustahil dilakukan, tapi melihat air jernih dengan mata sebenarnya, bukankah lebih baik?

Membuka kacamata yang burem sejenak dan melihat air putih yang jernih dengan mata yang sebenarnya, itulah kuncinya. Atau kalau memang mengharuskan memakai kacamata, perbaikilah kacamata yang burem itu atau gantilah dengan yang lebih baik. Niscaya, kita dapat melihat air yang belum tentu keruh seperti apa yang kita lihat jika melihatnya melalui kacamata yang sudah tidak berfungsi dengan baik.

Ah, semoga kita tidak termasuk orang yang melihat air jernih dari kacamata yang burem.

---Valka

Comments