Menilai yang Sekadarnya

Saya ngajar freelance di sebuah lembaga pendidikan.

Biasanya, "honor" saya dibayar setiap tanggal 26. Namun kali ini, hingga tanggal 30, honor saya belum dibayar juga. Saya sih berpikir positif. Saya pikir pihak lembaga tidak bermaksud 'sengaja' menunda honor saya. Mungkin mereka sedang lupa, makanya belum 'dikasih'. Akhirnya setelah 4 hari menunggu dibayarkan, hari ini setelah selesai mengajar saya berniat menanyakan hal itu dengan baik kepada mereka. Saya maklumi kalau ada ketidaksengajaan (misal : lupa) dari mereka.
Uniknya, belum sampai niat itu tersampaikan, suatu hal terjadi.

Hari ini ada 2 kelas. Nah setelah kelas pertama selesai, saya bertemu dengan keponakan saya yang kebetulan main futsal di dekat lembaga. Dia minta saya untuk diantarkan pulang. Berhubung masih ada waktu sebelum kelas dimulai, saya pun menuruti kemauannya. Tapi baru sebentar mengendarai motor, tiba-tiba motornya mati. Bensinnya habis sebab saya tidak mengisinya ketika berangkat tadi. Alhasil, saya pun urung mengantarkan keponakan saya dan ia pun pulang naik angkot. Saya ingin mutar balik ke tempat lembaga, eh ternyata susah banget. Saya coba buat nyalain lagi motornya, tapi gak bisa-bisa. Belum selesai saya berusaha untuk dapat kembali ke tempat lembaga, tiba-tiba salah seorang dari lembaga memanggil nama saya. Dia berteriak dari dalam pintu kaca, "Vaaaaal! Honor kamu!"

Lantaran niat awal saya memang ingin balik, akhirnya saya pun kembali masuk ke dalam lembaga. Namun begitu masuk, tiba-tiba saya ditanya, "Kamu kan masih ada kelas, kenapa pulang?"

*Gubrak!

Loh, siapa yang pulang? Alhasil, saya jelaskan kepada mereka tentang apa yang sebenarnya terjadi. Saya jelaskan pula kalau saya memang pulang, harusnya kan saya bawa tas. Tapi tas masih saya tinggal di kelas. Itu artinya saya bakalan balik lagi dan pergi buat sebentar doang. Emang sih saya gak bilang dulu kalau mau mengantarkan keponakan saya (tadinya) melainkan langsung mengambil motor saja. Tapi yang jelas, gak lama setelah saya bergegas mengantarkan keponakan saya pulang (padahal gak jadi), saya diminta tanda tangan untuk pengambilan honor.

Seorang pihak dari lembaga pun sempat basa-basi ke saya, "Itung dulu takutnya kurang."

Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran mereka. Tapi saya pikir, mereka merasa saya kecewa karena honor saya belum dibayar. Hal itu membuat mereka berpikir kalau saya itu "ngambek" dengan cara pulang duluan padahal masih ada satu kelas lagi yang harus saya ajar. Wkwkwk aduh, saya gak seanak kecil itu kali. :D Akhirnya karena mereka udah ngasih honor duluan, gak jadi deh niat saya buat menanyakan apa yang saya niatkan sebelumnya. :D

Memang, mungkin saya salah karena gak bilang dulu ke mereka ketika hendak mengantarkan keponakan saya. Tapi kelas pertama kan sudah selesai dan masih ada beberapa menit sebelum kelas dimulai. Jadi beberapa menit sebelum waktu kelas kedua sudah "teng", itu hak saya di waktu senggang itu. :D

Di sisi lain, pihak lembaga juga harusnya cari tahu dulu sebelum buru-buru bertanya, "Kok pulang duluan? Kan masih ada kelas." Kesannya saya itu 'kekanak-kanakan'. Ngambek' duluan, gak bisa diajak berkomunikasi dan lepas tanggung jawab dari apa yang seharusnya saya lakukan. Padahal, kenyataannya kan gak seperti itu. :D

Hal ini juga pernah saya alami di sebuah organisasi. Ketika saya sudah izin pulang duluan karena suatu hal, beberapa hari kemudian saya malah ditodong pertanyaan oleh beberapa teman lewat jejaring sosial,
"Kok udah main pulang duluan aja?".

*Gubrak lagi!* Wkwkwk Ketawa aja denger pertanyaan kayak gitu. Padahal saya kan sudah izin sama pengurus organisasinya. Ya kali kasih tau ke semua anggota kalau mau pulang duluan. -,,- Pertanyaan seperti itu terkesan 'menuduh', bukan 'bertanya'. Beda halnya kalau saya ditanya, "Kemarin kenapa pulang? Ada apa?" Salah cara menyampaikan, salah pula persepsi yang diterima :)

Nah, inilah yang terjadi kalau kita belum benar-benar tahu niat atau kepribadian seseorang tapi sudah buru-buru mengambil kesimpulan. Bagus kalau kesimpulan itu baik, tapi kalau buruk? Bisa-bisa berujung pada suudzon :D

Menurut saya, kita boleh menyimpulkan suatu hal yang belum kita tahu kejelasannya. Tapi cukup "sekadarnya" aja, 'sebatas' apa yang kita ketahui tentang hal/orang tersebut, jangan berlebihan. Sesuatu yang berlebihan itu kan gak baik, apalagi kalau sesuatu itu sudah bernilai negatif :D

Jangan hanya gara-gara ada orang yang berjilbab tapi auratnya masih ada yang kelihatan kita langsung menilai, "Dia gak syar'i!" atau "Berjilbab tapi kok auratnya masih kelihatan! Mendingan gak berjilbab sekalian!"
Kita sudah mendahului Tuhan. Menilai sesuatu berlebihan padahal boleh jadi Tuhan lebih pantas menilai ketimbang kita.
Padahal nyatanya, siapa tahu orang yang kita hujat itu baru belajar menutup aurat sehingga masih perlu bimbingan lagi. Atau pengetahuannya tentang berhijab lebih mantap ketimbang kita.
Cukup nilailah : Perempuan itu berhijab. (Bukan menilai : perempuan itu berhijab tapi gak syar'i)

Jangan hanya gara-gara ada perempuan yang pulang setiap malam kita langsung menghujat, "Perempuan gak baik! Pulangnya selalu malam!"
Apa kalau perempuan yang pulang pada malam hari sudah pasti berbuat suatu hal yang buruk? Kenapa pulang malam dijadikan takaran tentang baik/buruknya seorang perempuan? Lagipula darimana kita tahu bahwa dia berbuat keburukan/tidak padahal hanya Tuhan dan dialah yang lebih tahu?
Cukup nilailah : Perempuan itu selalu pulang setiap malam (bukan menilai : perempuan itu tidak baik karena selalu pulang setiap malam)
Kenyataannya, perempuan itu pulang setiap malam lantaran ia harus bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga.

Jangan hanya gara-gara ada orang yang memakai baju berbahasa Arab tapi dan ada tatto tentang salib di tangan atau jangan hanya gara-gara ada orang yang memakai embel-embel yang ada unsur yahudi/freemasonnya  kita lantas menilai, "Dasar pencoreng agama!" atau "Hati-hati terhadap Yahudi/konspirasi freemason!"

Darimana kita bisa menilai kalau ia telah mencoreng agama atau? Apakah kita lebih berhak dari Tuhan? Apa sudah pasti orang yang memakai embel-embel yang identik dengan agama/keyakinan tertentu sudah pasti menganut agama tertentu? Ada kasus dimana seorang pemuda memakai baju berbahasa arab dengan tangan ditato tanda agama lain dan seorang ibu muslim menegurnya. Namun pemuda tersebut berkata balik, "Apa ibu mengerti bahasa Arab?"

Cukup nilailah : Orang itu memakai embel-embel yang mirip dengan lambang freemason (bukan orang itu mendukung freemason) dan Orang itu memakai baju berbahasa Arab dengan tatto salib di tangan (bukan orang itu mencoreng agama dengan memakai baju berbahasa Arab dengan tatto salib di tangan)
Kenyataannya pemuda tersebut adalah nonmuslim dan tulisan Bahasa Arab yang ada di bajunya berarti doa dalam agamanya.

Sekali lagi, semua orang berhak memberikan pandangan terhadap suatu hal. Tapi tidak semua hal yang belum begitu tampak "jelas" kita bisa serta merta memberikan pandangan dengan 'sekata-katanya'. Kalau ada suatu hal yang belum jelas apalagi kalau kita 'miskin' ilmu tentang hal tersebut, kalau mau menilai, nilai sekadarnya aja. Nilailah dengan proporsi yang pas, sesuai dengan apa yang kita tahu. Tapi kalau kita benar-benar "kepo" akan suatu hal, tanya saja sama orang yang bersangkutan dengan baik-baik. "Tanya", bukan "Menuduh". Biar lebih jelas. Kalau memilih untuk tidak menilai pun juga tidak masalah. Penilaian yang terlalu berlebihan apalagi jika itu buruk itu tidak pernah baik. Malah bisa berujung 'fitnah' jika kita sudah terlanjur menceritakannya kepada orang lain tentang suatu hal yang tidak kita kuasai sama sekali.

Jadi, sudah berapa kali kita merasa lebih tahu terhadap hal-hal yang "belum tampak jelas"?*

Comments