Seperti Sinar, Tanpa Redup, Tanpa Padam

Seorang gadis cilik bernama Sinar tidak bisa merasakan keceriaan anak sebayanya. Dia harus banting tulang memenuhi kebutuhan sehari-hari sekaligus mengurusi ibunya yang terbaring lumpuh di rumahnya. Meski begitu, Sinar tetap berusaha bisa bersekolah.


Warga Desa Riso, Kecamatan Tapango, Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat, berusia enam tahun itu setiap hari menjalani rutinitas layaknya orang dewasa demi ibunya, Murni, yang sudah dua tahun terbaring lumpuh. Ayahnya, Anwar, yang sudah tiga tahun merantau ke Malaysia hingga kini tidak jelas kabarnya. Sedangkan tiga kakak dan dua adik Sinar tinggal di rumah nenek dan kerabatnya.

Setiap hari, Sinar harus bangun pagi membereskan kebutuhan ibunya sebelum berangkat ke sekolah. Untuk memandikan ibunya, Sinar harus mengangkat air dari sumur ke atas rumah. Demikian untuk membersihan kotoran. Murni sama sekali tidak bisa menggerakan kedua kakinya.(www.langitperempuan.com)

Masih ingatkah kita dengan kisah di atas? Kisah tentang Sinar, gadis dibawah umur yang mampu menjadi tulang punggung sekaligus ibu bagi ibunya yang lumpuh dengan segala kegigihan dan perjuangannya?

Ya, sesuai namanya, Sinar, maka selayaknya seperti itulah karakteristik anak bumi pertiwi. Mereka sepatutnya menjadi secercah sinar, dimana ia mampu menunjukkan setapak jalan bagi para pengembara oase kebahagiaan. Selain itu mereka juga harus menginspirasi banyak orang, pantang menyerah dan tentunya memiliki harapan tinggi demi meraih bintang.

Sekadar berbagi pengalaman, pada tanggal 7-10 Juli aku bersama rekan-rekan yang tergabung dalam KREATif diundang dalam acara forum pemimpin muda nasional 2010 (National Young Leader) yang diadakan oleh World Vision Indonesia (WVI). Sebenarnya acara sudah berlangsung sejak tanggal 5 Juli. Namun kita baru bisa datang pada tanggal 7.

Ini kali pertama aku mengikuti forum pemimpin semacam ini. Jujur, semula aku agak kurang bisa beradaptasi, apalagi ada sekitar 200-an anak yang turut berpartisipasi. Namun lambat laun hambatan itu sirna dan menjadi sebuah pengalaman yang cukup berkesan.

Pada tanggal 8 Juli, kita, para peserta NYL (National Young Leader) berbagi tugas. Ada yang pergi ke KPAI, ada yang pergi ke Menkokesra bahkan ada pula yang pergi ke Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Aku sendiri kebetulan mendapat bagian untuk berpartisipasi di Mensos. Di sana kita akan mendapat pengetahuan dan wawasan seputar pemerintahan sesuai dengan bagiannya masing-masing.

Sifat keindonesiaan seakan tak hilang. Perjalanan yang seharusnya berlangsung pada pukul 07.00 baru benar-benar terealisasikan sekitar jam tujuh lewat. Bahkan bisa dibilang hampir jam setengah delapan. Kendati demikian itu tidak bermasalah sebab kita tiba di tempat tujuan lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Semula agak membosankan juga menunggu sekian menit. Namun beruntung, rasa kebosanan itu hanya berlangsung sebentar. Selang berapa lama kemudian kita dipersilakan masuk. Namun sayang, ada satu hal yang membuatku kecewa. Ternyata tokoh yang bersangkutan tidak bisa hadir dan terpaksa diwakilkan dengan tokoh yang berkaitan lainnya karena ada acara lain.

Seusai memasuki ruangan, kita menempati tempat duduk-tempat duduk yang membentuk lingkaran yang telah disediakan. Suatu kebanggaan aku dapat berteman dengan mereka. Betapa tidak, para peserta dari berbagai macam ras dan budaya yang membaur menjadi satu seolah menjelma menjadi sebuah warna-warni Indonesia. Sebelum acara dimulai, aku pun memanfaatkan waktu. Diam-diam aku menjadi wartawan kecil-kecilan dengan mencoba berkenalan dengan dua bocah gadis yang ada di sebelah kananku. Gadis pertama bernama Herlin dari NTT dan gadis kedua bernama Kristin dari Papua. Mereka berdua masih duduk di bangku kelas 2 SMP.

Itu saja perkenalannya? Oh, tentu saja tidak. Aku pun berusaha mengenal mereka lebih dalam. Kutanya kepada mereka kira-kira akan menjadi seperti apakah saat dewasa nanti dan mengapa mereka memilih itu. Dengan polos Herlin menjawab ia ingin menjadi bidan karena tenaga keperawatan masih minim di NTT sedangkan Kristin menjawab ia ingin menjadi dokter dengan alasan yang serupa. Oh, betapa menakjubkannya jawaban mereka. Usia memang masih dini, namun cita-cita yang mereka tanamkan begitu tingginya. Dan itulah selayaknya sifat anak Indonesia, harus mempunyai mimpi di samping berusaha untuk mewujudkannya. Ah, aku tak tahu bagaimana perjalanan dua bocah itu sepuluh tahun ke depan. Namun aku berdoa semoga kelak mereka dapat mencapai apa yang mereka impikan. Amin...

Tak lama kemudian acara yang dinanti-nanti pun dimulai. Setelah perkenalan dan pembukaan oleh tokoh yang bersangkutan, maka kini tiba saatnya forum tanya jawab berlangsung. Uniknya, tak hanya satu atau dua orang saja yang mengacungkan jari, namun berkisar lima hingga sepuluh orang. Sungguh, ini sinyal yang baik!

Beragam uneg-uneg dan bahkan curahan hati pun dilontarkan. Ada yang bertanya tentang cara mengatasi anak jalanan, ada yang bertanya seputar pentingnya akte kelahiran, ada yang bercerita tentang pengangguran, bahkan yang uniknya, ada pula yang bercerita tentang sulitnya akses pergi ke sekolah bahkan guna mencapainya ke sana butuh perjuangan dengan berjalan kaki. Namun naas, begitu tiba di sana, gurunya malah tidak hadir. Lho? Bagaimana bisa? Bukankah guru seharusnya menjadi pendidik yang baik dan bertanggungjawab? Tampaknya sekelumit pertanyaan ini mampu menjadi wakil atas harapan seluruh anak bumi pertiwi terhadap hak-hak mereka.

Masih seputar forum tanya jawab, dari sekian pertanyaan yang dikemukakan, entah mengapa ada satu hal -atau lebih tepat dibilang curahan hati- yang menarik perhatian dan simpatiku. Apakah itu? Seorang gadis kecil berusia sekitar 12 tahun bernama Rina dari NTT menangis. Tetesan-tetesan air matanya yang mengucur turun perlahan-lahan membasahi pipinya. Dan dengan nadanya yang lugu dan polos serta bahasanya yang menyayat hati, ia bercerita kalau ia tidak bisa masuk sekolah favorit hanya lantaran terkurung faktor biaya.

Bukan lantaran pertanyaannya aku merasa terenyuh. Melainkan sorot matanya yang seolah menyiratkan bahwa betapa lelahnya ia terus-terusan berharap dari pemerintah namun di sisi lain menyiratkan betapa pantang menyerahnya ia dalam menyongsong hari esok. Entahlah. Ada orang yang mengatakan kalau mata tidak bisa berbohong. Nah, begitu tiba giliranku untuk bertanya, aku meminta para peserta untuk bertepuk tangan. Setidaknya Rina mengajarkan kepada kita bahwa hidup itu memang tidak mudah. Namun butuh perjuangan demi mencapai himalaya kebahagiaan.

Sinar, Herlin, Rina, Kristin, atau siapa pun namanya, tampaknya patut dijadikan contoh dan pelajaran oleh pemerintah dan kita semua bahwa masih banyak jutaan anak alias calon pemimpin masa depan yang memiliki angan-angan tinggi namun tidak seberuntung kita. Kawan, buka mata, buka telinga, dan ingatlah, waktu tak pernah berhenti berputar. Mungkin artikel yang saya tulis ini hanya dapat kawan baca hari ini. Namun esok, lusa, tahun depan, atau bahkan puluhan tahun kemudian, bukan mustahil kawan tidak hanya dapat membaca, tetapi menyaksikan tokoh-tokoh yang saya tulis menjadi 'sinar-sinar' yang mengagumkan, tanpa redup, tanpa padam.

Comments