Membangun Ibukota Lewat "The Greater Jakarta"

Suasana diskusi opini.id pada 12 Oktober 2016 <dok. pribadi>

Jakarta gawat darurat. Kota berikonkan monas ini kekurangan pasokan air. Jakarta hanya mampu menyediakan 1,2 juta meter kubik air per tahun dari kebutuhan 2,6 juta meter kubik air per tahun. Akibatnya, terjadi ekstraksi tanah sehingga permukaan laut di Jakarta kian lama kian naik.

Jakarta juga miskin pepohonan. Dari syarat minimal 30% Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk sebuah kota, Jakarta baru bisa memenuhinya sebanyak 9,5%.

Itu baru masalah air dan RTH. Kepadatan penduduk, kemacetan, banjir dan buruknya tata ruang juga kian menambah catatan buruk ibukota. Haruskah Jakarta terus begini?

Solusi = The Greater Jakarta?

Setiap penyakit ada obatnya, begitu pun dengan persoalan tetek-bengek Jakarta. Untuk mengatasi berbagai keruwetan yang Jakarta miliki, sejarawan dan penulis JJ Rizal dalam diskusi dan kopi darat blogger yang diadakan oleh opini.id pada Selasa, 12 Oktober 2016 di Wisma 77, Slipi, Jakarta Barat menjelaskan bahwa solusinya hanya dua. "Solusinya adalah antara pindah ibu kota atau The Greater Jakarta", tuturnya.
Berbagai ibukota di dunia telah menerapkannya. The Greater London, The Greater Tokyo bahkan The Greater Kuala Lumpur adalah contohnya. Jakarta menjadi ibukota kesekian yang menjadi bagian dari program ini.

The Greater Jakarta, seperti dikutip dalam laman news.viva.co.id, adalah pengembangan ibukota yang terkoneksi dengan kota-kota di sekitarnya. Greater Jakarta juga didefinisikan sebagai kawasan perkotaan yang terintegrasi dengan Jakarta. Nah, biar lebih mudah ingat saja jabodetabek. Wilayah-wilayah tersebut adalah konsep dari The Greater Jakarta karena terintegrasi dengan ibukota. Banyaknya jalan raya, jalan tol, transportasi umum dan lainnya yang saling menghubungkan antara kota-kota tersebut dengan Jakarta merupakan implementasi dari The Greater Jakarta. Gagasan ini diciptakan agar Jakarta bisa berbagi-bagi "bebannya" dengan sejumlah kota di sekitarnya.

Yang perlu diketahui adalah Jabodetabek tidak mutlak bagian dari konsep The Greater Jakarta. Seiring berjalannya waktu, bisa saja kota-kota atau wilayah lain turut bergabung dan terintegrasi dengan Jakarta, terlebih masalah di Jakarta kian lama kian kompleks. Sejumlah nama daerah seperti Purwakarta, Cianjur bahkan Sukabumi digadang-gadang menjadi calon bagian dari The Greater Jakarta berikutnya.

Orang barat mengatakan bahwa “There is no free lunch”. Itu artinya ada harga yang harus dibayar untuk memperluas dan memperkuat jangkauan The Greater Jakarta. Jika ingin terealisasi, hal itu harus diimplementasikan melalui pembangunan atau perbaikan infrastruktur dengan anggaran yang tidak sedikit. Sebab jika berbagai fasilitas terpenuhi, maka akan semakin mudah wilayah dan kota-kota sekitar terintegrasi dengan Jakarta. Diharapkan warga tidak selalu bergantung di ibukota saja sehingga populasi penduduk ibukota akan menyebar ke berbagai kota di sekitar Jakarta. Selain itu masalah juga tidak akan terpusat di satu titik saja karena akan terbagi-bagi ke berbagai kota sekitar. Memikul beban sendirian akan terasa berat. Memikul beban bersama-sama bukankah akan menjadi lebih ringan?

Sejak Era Soekarno

Gagasan soal mengembangkan Jakarta menjadi The Greater Jakarta tidak datang baru-baru ini. Gagasan itu telah dibahas ketika presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertemu dengan rektor ITB Akhmaloka pada 2010 untuk memperluas Jabodetabek dengan menambah Cianjur, Sukabumi dan Purwakarta dan lainnya sebagai bagian dari The Greater Jakarta. Namun sebenarnya gagasan itu juga bukan ide orisinal dari SBY. Sejumlah pemimpin negeri ini ternyata telah memiliki gagasan tentang The Greater Jakarta bahkan sejak era kepemimpinan Soekarno.

"Gagasan The Greater Jakarta datang saat SBY ketemu rektor ITB. Namun sebenarnya bukan ide asli SBY, tapi dari Sutiyoso. Itu juga bukan asli dari Sutiyoso, tapi dari Ali Sadikin. Itu juga bukan asli dari Ali Sadikin, tapi dari Bung Karno. Itu juga bukan ide asli Bung Karno tapi dari walikota Soediro." Papar JJ Rizal.

Soediro adalah walikota Jakarta (setara dengan gubernur) yang sempat menjabat pada 1953-1960. Meski merupakan pemimpin Indonesia pertama yang memiliki gagasan tentang The Greater Jakarta, namun ide itu bukan orisinal darinya. Gagasan itu datang berdasarkan konsep masterplan yang dikembangkan oleh seorang warga negara Amerika Serikat yang merupakan perwakilan UNESCO.

Dengan demikian, The Greater Jakarta bukanlah barang baru di negeri ini. Telah ada sejak era Soekarno menandakan sudah lebih dari setengah abad gagasan ini mengemuka.

Belajar dari Negara Lain


Para peserta diskusi opini.id berfoto bersama narasumber <dok. indoblognet>


Berbagai masalah yang dihadapi negeri ini, terutama Jakarta membuat Indonesia seharusnya berkaca dari negara-negara lain. Salah satunya dari negara kota Singapura.

Dimas Oky Nugraha, aktivis Gerakan AMPUH (Anak Muda Punya Usaha) dalam kegiatan diskusi opini.id di Wisma 77 (12/10) menceritakan tentang pengalamannya selama berada di Singapura. Menurutnya, Lee Kuan Yew selaku tokoh penting Singapura benar-benar membangun negaranya. Meski miskin sumber daya alam, Singapura lebih baik dalam pembangunan bahkan jika dibandingkan dengan Jakarta. "Lee Kuan Yew memastikan 1 warga 1 rumah yang layak.", Tutur Dimas. Ini masih menjadi PR besar bagi Jakarta dimana masih terdapatnya warga yang tinggal di rumah yang kurang layak.

Keseriusan negeri Singa dalam menata negaranya bahkan terekam dalam museum nasional Singapura. Di sana para pengunjung dapat melihat bagaimana perkembangan dan proses Singapura dari lahir hingga menjadi sekarang.

Tak hanya Singapura, Indonesia juga perlu membuka diri untuk ‘melirik’ Amerika Serikat dan Australia, begitulah yang dikemukakan oleh Dimas Oky. Amerika tidak ingin New York selaku ibukota memikul beban sendirian. Alhasil, Amerika menjadikan Washington DC sebagai pusat pemerintahan dan politik dan New York sebagai pusat ekonomi. Perlakuan yang sama juga terjadi di Australia dimana pusat pemerintahan dan politik tidak berada di Sidney, melainkan di Canberra. Hal ini jauh berbeda dengan Indonesia dimana pusat pemerintahan dan ekonomi hanya bertumpu di Jakarta. Jakarta "terlalu rakus" sehingga mengakibatkan berbagai masalah kompleks terjadi di sana.

Di titik inilah perlu solusi dalam membangun ibukota lebih baik. The Greater Jakarta adalah salah satu caranya. Namun itu saja tidak cukup. Penataan kota yang baik seperti Singapura dan pemindahan pusat pemerintahan bisa seperti Australia dan Amerika perlu menjadi bahan pertimbangan. Terlepas itu semua, itu semua takkan berarti tanpa dukungan dari pemerintah dan berbagai pihak, termasuk kita semua. 

Tulisan ini dipublikasikan juga di ---> http://opini.id/pertanyaan/87306/membangun-ibukota-lewat-the-greater-jakarta

Comments